Urgensi Filsafat HukumABSTRACT. Bangsa Indonesia menghadapi suatu masalah serius yang harus dilalui
dalam menjalankan agenda reformasi ini. Sudah terlampau banyak konsep
dan gagasan para pakar untuk mengatasinya, tetapi ternyata belum
sepenuhnya membawa hasil optimal ke arah penyelesaian yang kongkrit.
Karena pada umumnya, mereka melihat berbagai peristiwa dan permasalahan
bangsa dari sudut pandangnya sendiri-sendiri, jarang yang berpikir
secara sistemik, melalui pendekatan yang lebih menyeluruh dan
komprehensif. Hal ini membuktikan bahwa penyelesaian krisis yang menimpa
bangsa Indonesia, diperlukan alternatif pendekatan yang lebih relevan
yang mampu mengakomodasikan berbagai kepentingan yang ada. Dengan
bertitik tolak dari kerangka pemikiran filsafat hukum yang bercirikan
mendasar, rasional, reflektif dan komprehensif, diharapkan dapat
membantu semua pihak dapat bersikap lebih arif dan tidak terkotak-kotak
keilmuannya yang memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap
selanjutnya diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat dalam
mengatasi krisis yang menerpa bangsa Indonesia.
A.Pendahuluan
Sudah hampir satu dasa warsa lamanya proses reformasi dijalankan bangsa
Indonesia, sejak orde baru runtuh dari panggung kekuasaan politik pada
penghujung Mei 1998. Seperti yang diprediksikan oleh banyak pihak,
reformasi ini memerlukan proses yang cukup panjang dan tidak mungkin
mengubah segala sesuatunya secara cepat sesuai dengan tuntutan dan
keinginan yang diharapkan rakyat. Bahkan untuk mereformasi berbagai
tatanan kehidupan bangsa yang sudah lama tertanam lebih dari tiga
dasawarsa merupakan pekerjaan yang tidak mudah serta membutuhkan
pengorbanan yang amat besar dari rakyat dan bangsa Indonesia. Tidak
sekedar berupa harta benda, pikiran maupun tenaga, tetapi nyawa-nyawa
anak bangsapun banyak berguguran di bumi pertiwi tercinta ini.
Bangsa Indonesia menghadapi suatu masalah serius yang harus dilalui
dalam proses reformasi ini, mulai dari krisis moneter yang berkembang
menjadi krisis ekonomi, meletusnya berbagai kerusuhan, mencuatnya
kembali pertentangan etnis dan agama, munculnya kelompok-kelompok
kepentingan yang saling berebut pengaruh dan sebagainya. Langsung maupun
tidak langsung tentu amat berpengaruh terhadap stabilitas negara dan
ketentraman masyarakat. Masyarakat menjadi resah, trauma dan merasa
tidak nyaman dalam menjalani kehidupan sehari-harinya, terutama yang
terjadi di kota-kota besar yang potensial memunculkan aksi kerusuhan
massa.
Ekses-ekses reformasi yang merugikan tersebut tentunya tidak diharapkan
oleh masyarakat dan sedapat mungkin harus dicarikan jalan keluarnya.
Sudah banyak lontaran gagasan dikemukakan oleh banyak kalangan, mulai
dari para pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, ilmuwan dan
lain-lain untuk memberikan jalan keluar (solution) terhadap krisis yang
tengah dihadapi masyarakat. Bermacam-macam teori dan retorikapun
dikemukakan untuk meyakinkan masyarakat. Akan tetapi pada umumnya,
mereka melihat berbagai peristiwa dan permasalahan bangsa dari
kacamatanya atau sudut pandangnya sendiri-sendiri, jarang yang berpikir
secara sistemik, melalui pendekatan yang lebih menyeluruh dan
komprehensif. Tidak mengherankan kalau banyak pakar politik, pakar
hukum, pakar ekonomi dan sebagainya berlomba-lomba mengemukan
pendapatnya sesuai dengan versinya masing-masing. Bahkan nampaknya ada
kecenderungan di lingkungan para pakar terlalu mendewa-dewakan disiplin
bidang keilmuannya sendiri dan seolah-olah memandang rendah disiplin
bidang lain. Hal ini dapat terlihat, bahwa pakar yang satu kerap kali
mengecam pakar yang lain atau menyalahkan suatu kebijakan tanpa
memberikan konsep dan solusi yang lebih jelas. Fenomena semacam ini
menggambarkan adanya tanda-tanda arogansi keilmuan seseorang yang kalau
dibiarkan lama-lama dapat melahirkan atau mengarahkan pada sikap vak
idiot .
Banyaknya konsep dan gagasan di atas, ternyata belum sepenuhnya membawa
hasil optimal ke arah penyelesaian yang kongkrit. Justru masyarakat
awam yang hidup serba miskin fasilitas, menjadi semakin bingung harus
mengikuti pendapat yang mana, karena semua pendapat selalu mengaku yang
terbaik, meskipun dalam praktik ternyata sulit pula untuk diaplikasikan
(non aplicable). Hal ini membuktikan bahwa penyelesaian krisis yang
menimpa bangsa Indonesia, diperlukan alternatif pendekatan yang lebih
relevan yang mampu mengakomodasikan berbagai kepentingan yang ada.
Betapapun memang harus diakui bahwa untuk memberikan jalan keluar dari
krisis ini tidak mudah, karena begitu kompleks permasalahan yang
melatarbelakanginya.
Melihat kenyataan tersebut, sudah selayaknya kalangan dunia pendidikan
tinggi harus mencoba mencari alternatif yang tepat untuk diterapkan
mengatasi krisis yang menimpa bangsa Indonesia ini. Dalam kaitan inilah,
para pakar, kaum akademisi maupun para praktisi terutama yang berbasis
pendidikan tinggi hukum, sebenarnya dapat ikut berpartisipasi memberikan
peran dan sumbangan pemikirannya terhadap situasi dan kondisi krisis
yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Dalam hal ini, para sarjana
hukum tentunya tidak sekedar melihat persoalan dari pedekatan hukum
dalam arti normatif semata, tetapi dapat ditempuh dengan pendekatan yang
lebih mendasar, rasional, reflektif dan komprehensif melalui pengkajian
dan analisis filsafati, terutama bertitik tolak dari kerangka tinjauan
filsafat hukum.
Permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimanakah peran dan
sumbangan yang dapat diberikan filsafat hukum dalam era reformasi. Dalam
wujud apakah filsafat hukum memberikan kontribusinya. Kemudian apakah
mungkin filsafat hukum dijadikan salah satu terapi untuk membantu
memecahkan berbagai krisis yang terjadi dalam masyarakat kita pasca
reformasi. Untuk membahas dan mencermati permasalahan tersebut, dalam
tulisan ini akan diuraikan tentang tinjauan ontologis, epistemologis dan
aksiogis ilmu hukum, ruang lingkup objek pengkajian filsafat hukum,
serta urgensi dan relevansinya filsafat hukum dalam membantu
menyelesaikan krisis yang multidimensional ini.
B.Tinjauan ontologis, epistemologis dan aksiologis ilmu hukum
Apabila dilihat kecenderungan dalam ilmu hukum, ternyata ada dua
kecenderungan yang sedang terjadi, yakni :
(1) ilmu hukum terbagi-bagi
ke dalam berbagai bidang yang seolah-olah masing-masing berdiri
sendiri, (2) ilmu hukum menumpang pada bidang ilmu lain sehingga
seolah-olah bukan merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri.
Kecenderungan pertama terlihat dengan terbentuknya ilmu hukum ke dalam
ilmu yang bersifat normatif, ilmu yang bersifat empiris dan ilmu yang
bersifat filosofis. Terkadang para penganut ketiga bidang ilmu hukum itu
masing-masing saling menafikan. Kecenderungan kedua tampak dengan
semakin kentalnya sikap yang menganologikan ilmu hukum dengan sosiologi
hukum dan antropologi hukum.
Kecenderungan ilmu hukum tersebut sudah tentu mengurangi kemampuan ilmu
hukum dalam perkembangannya dan dalam menghadapi masalah-masalahnya.
Adanya ilmu hukum yang bersifat integratif merupakan suatu kebutuhan.
Hal ini karena adanya kelemahan yang dijumpai dalam ilmu hukum yang
murni secara teoritis semata-mata (normative) maupun ilmu hukum yang
terapan semata-mata (empiris). Integralitas ilmu adalah kebalikan dari
spesialisasi dalam ilmu. Spesialisasi ilmu dalam perkembangan ilmu
merupakan bukti dari kemajuan karena ilmu menjadi berkembang semakin
kaya. Tetapi spesialisasi ilmu dalam ilmu hukum menjadi steril dan
dangkal. Mungkin ilmu hukum dapat berkembang tetapi tidak dapat
menangkap hakekat yang lebih menyeluruh dari kenyataan yang dihadapi.
Seolah-olah seperti orang buta yang menangkap ekor disangka itulah
gambaran gajah atau seperti halnya melihat bagian sisi saja dari mata
uang dan melupakan sisi lainnya.
Ilmu hukum mempunyai objek kajian hukum. Sebab itu kebenaran hukum yang
hendak diungkapkan oleh ilmuwan hukum berdasarkan pada sifat-sifat yang
melekat pada hakekat hukum. Untuk membicarakan hakekat hukum secara
tuntas, maka perlu diketahui tiga tinjauan yang mendasarinya, yaitu
tinjauan ontologis, tinjauan epistemologis dan tinjauan aksiologis.
Tinjauan ontologis membicarakan tentang keberadaan sesuatu (being) atau
eksistensi (existence) sebagai objek yang hendak dikaji. Dalam hal ini
ada aliran yang mengatakan bahwa segala sesuatu bersifat materi (alls
being is material) , sementara pendapat lain menyebutkan bahwa semua
yang ada bersifat sebagai roh atau spirit (alls being is spirit) .
Pandangan ini menentukan bagaimana atau dengan kacamata apa seseorang
(subjek) melihat suatu objek tertentu. Tinjauan epistemologis menyoroti
tentang syarat-syarat dan kaidah-kaidah apa yang harus dipenuhi oleh
suatu objek tertentu. Hal ini berkaitan dengan cara, metode atau
pendekatan apa yang akan digunakan untuk melihat objek itu. Selanjutnya
tinjauan aksiologis adalah melihat bagaimana aksi atau pelaksanaan dari
sesuatu. Dengan kata lain bagaimana pengaruh dan kemanfaatan (utility)
suatu objek bagi kepentingan hidup manusia. Tinjauan aksiologis tak
dapat dilepaskan dari persoalan nilai (value) yang dianut dan mendasari
suatu objek tertentu.
a. Tinjauan Ontologis
Secara umum ada tiga hal yang dapat dipelajari dari hukum, yaitu :
(1) nilai-nilai hukum, seperti keadilan, ketertiban, kepastian hukum dan
lain-lain, (2) kaidah-kaidah hukum berupa kaidah yang tertulis maupun
tidak tertulis, kaidah yang bersifat abstrak maupun nyata, (3) perilaku
hukum atau dapat juga disebut kenyataan hukum atau peristiwa hukum.
Secara umum filsafat hukum mengkaji nilai-nilai hukum, sosiologi hukum,
antropologi hukum, psikologi hukum, dan lain-lain serta mengkaji
perilaku hukum. Sedang kaidah hukum dikaji oleh bidang yang disebut
normwissenschaf atau ilmu tentang kaidah.
Titik sentral pengkajian dan penelitian ilmu hukum adalah kaidah-kaidah
hukum. Ilmu hukum tidak dapat dipisahkan dari kaidah hukum. Tetapi
persoalannya adalah dalam posisi dan situasi kaidah hukum yang bagaimana
yang menjadi perhatian dari ilmu hukum. Sosiologi hukum dan antropologi
hukum mempelajari perilaku hukum sebagai kenyataan hukum. Kedua bidang
ilmu hukum ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kriteria bahwa perilaku
atau kenyataan itu sudah bersifat normatif. Jadi harus ada ukuran bahwa
bidang penelitian itu bersifat normatif. Dalam filsafat hukum,
nilai-nilai yang dikajipun harus bersifat normatif. Ciri yang umum dari
kaidah hukum ialah adanya legitimasi dan sanksi.
Tanpa terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang kajian, ilmu hukum dengan
sendirinya sudah mengkaji nilai, kaidah dan perilaku. Yang berbeda
antara satu kajian dengan kajian lain ialah kadar, intensitas atau
derajat di anatara ketiga hal tersebut.
b. Tinjauan Epistemologis
Ilmu hukum sebagai ilmu bertujuan untuk mencari kebenaran atau
tepatnya keadilan yang benar. Untuk mencari keadilan yang benar itu maka
ditentukanlah cara untuk mencarinya yang disebut metode. Metode ilmu
hukum ditentukan oleh aspek ontologis dan aksiologis dari hukum. Konsep
mengenai metode dan ilmu bersifat universal. Artinya, untuk bidang apa
saja atau untuk jenis ilmu manapun adalah sama, tetapi pengaruh dari
obyek suatu ilmu tentu tak dapat dihindarkan. Sebab itu hakekat hukum
dan fungsinya dalam praktek tak dapat dihindari berpengaruh dalam
menentukan metode yang digunakan dalam ilmu hukum.
Apabila melihat hakekat hukum, ilmu hukum tidak didasarkan pada
empirisme atau rasionalisme saja, karena gejala hukum tidak hanya berupa
hal yang dapat diserap oleh indra atau pengalaman manusia berupa
perilaku hukum saja tetapi juga berisi hal-hal yang tak terserap oleh
indra manusia, yakni nilai-nilai hukum. Kebenaran yang dapat dicapai
oleh ilmu hukum ialah apabila disadari adanya penampakan dari obyek dan
seraya menyadari pula arti dibelakang obyek tersebut.
Secara hakekat, ilmu hukum berusaha untuk menampilkan hukum secara
integral. Oleh karenanya metode ilmu hukum harus bersifat integral pula.
Dalam ilmu hukum pada waktu sekarang sering dibedakan antara metode
normatif, metode sosiologis dan metode filosofis. Metode penemuan hukum
(rechtsvinding) bukan metode ilmu hukum karena metode penemuan hukum
hanya dapat dipergunakan dalam praktek hukum. Penentuan penggunaan
metode sosiologis dan metode filosofis tergantung pada kadar atau
intensitas kaidah yang diteliti, sebab tidak semua kaidah memerlukan
analisa baik filosofis maupun sosiologis.
Dalam perkembangannya, karena para ilmuwan hukum tidak puas dengan
metode yang ada, maka muncullah metode multi disipliner atau disipliner,
yang merupakan perwujudan dari logika hipotiko-deduktif-verifikatif.
Dalam metode ini suatu masalah berusaha dipecahkan atau didekati dari
berbagai disiplin baik yang termasuk deduktif maupun induktif. Istilah
hipotiko deduktif menempatkan kaidah hukum sebagai hal yang mentah yang
perlu untuk dimasukkan kedalam proses “verifikasi” untuk dibuktikan
kebenarannya. Dengan mengadakan verifikasi maka suatu hipotesa atau
teori seakan-akan dicocokkan dengan fakta-fakta. Menurut Popper, bukan
verifikasi yang menjadi kriterium demarkasi antara yang ilmu dan bukan
ilmu tetapi ialah falsifikasi, yakni kemampuan menyangkal kesalahan.
Dengan demikian Popper telah mengganti verifikasi yang bersifat induktif
dengan falsifikasi yang deduktif.
Secara epistemologis, metode hipotiko-deduktyif-verifikatif dinggap
ideal, tetapi dalam praktek penerapannya menjadi pragmatis. Metode
tersebut tidak mutlak dipergunakan secara padu. Yang menjadi ukuran
dalam penggunaan metode ialah situasi, kepentingan, kebutuhan dan biaya.
Ilmu hukum akan mempunyai kewibawaan dan kekuatannya apabila bersifat
integral dalam aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis. Sebab itu
yang diperlukan dalam ilmu hukum ialah sintesis dari metode-metode,
sehingga ilmu hukum memiliki suatu metode yang mempunyai ciri khas. Ilmu
hukum adalah suatu sistem. Sebagai suatu sistem, ilmu hukum harus
merupakan suatu kebulatan dari seluruh komponen atau subsistem yang satu
sama lainnya saling berhubungan.
c. Tinjauan Aksiologis
Ilmu hukum bersifat dinamis. Ilmu hukum mempunyai peran dan fungsi yang
khas dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lain. Secara aksiologis,
peran dan fungsi dari ilmu hukum antara lain seperti diuraikan dibawah
ini.
Pertama, ilmu hukum berpengaruh dalam pembentukan hukum melalui
penyusunan perundang-undangan. Hasil-hasil penelitian ilmu hukum menjadi
masukan untuk menyusun rancangan peundang-undangan.
Kedua, ilmu hukum berpengaruh dalam praktek hukum atau pelaksanaan
hukum. dalam rangka peradilan, seorang hakim atau lebih sering
memutuskan perkara dengan mengambil pendapat ahli hukum yang berwibawa
sebagai salah satu dasar pertimbangannya. Begitupun juga jaksa dan
pengacara sering mengambil pendapat ahli hukum sebagai penguat
argumentasinya dalam mengajukan tuntutan dan pembelaannya.
Ketiga, ilmu hukum berpengaruh dalam pendidikan hukum. Pendidikan hukum
yang formal yakni di bangku sekolah dan yang informal di tengah
masyarakat lewat media massa dan penyuluhan-penyuluhan sangat
dipengaruhi oleh ilmu hukum. Seorang mahasiswa di didik oleh seorang
pengajar yang mempunyai status sebagai ahli hukum. Seorang ahli hukum
mempunyai wawasan yang khas dan pernah sekurang-kurangnya meneliti
hukum. Kualitas pengajar akan menentukan kualitas dari mereka yang
diajar.
Keempat, ilmu hukum akan berpengaruh atas perkembangan dari
bidang-bidang yang lainnya. Dalam suatu sistem hukum yang berusaha untuk
mengatur segala hal atau segala bidang, maka sistem seperti itu
bersifat progressif dan interventif. Sebab itulah bidang-bidang yang
diatur itu memerlukan suatu kejelasan atas pengaturan tersebut.
Kelima, ilmu hukum berusaha untuk mengadakan sistematisasi. Bahan-bahan
yang tercerai berai disatukan dalam suatu susunan yang bersifat
komprehensif. Hasil sistematisasi menyajikan informasi yang memudahkan.
Ilmu hukum juga menyajikan pertimbangan-pertimbangan. Adanya sejumlah
data dan sejumlah peraturan tidak cukup bermakna. Semua itu harus
dianalisa. Analisa atas suatu peraturan akan memudahkan pemahaman atas
peraturan itu.
Dan selanjutnya, ilmu hukum mempunyai fungsi sebagai pencerah terhadap
kebekuan yang melanda dunia hukum. Hukum adakalanya diabaikan bukan
semata-mata demi hukum tetapi untuk sesuatu yang lebih mulia yakni
terwujudnya keadilan yang diridhloi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sebab itu
dalam situasi hukum yang legalistis dan beku, maka ilmu hukum berfungsi
memberikan pencerahan dengan mengajukan pemikiran-pemikiran dan
kemungkinan-kemungkinan baru.
C. Objek pengkajian filsafat hukum
Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena filsafat hukum merupakan
bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum
hanya mempelajari hukum secara khusus. Sehingga, hal-hal non hukum
menjadi tidak relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan
kesimpulan seperti ini sebetulnya tidak begitu tepat. Filsafat hukum
sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari hukum hanyalah suatu
pembatasan akademik dan intelektual saja dalam usaha studi dan bukan
menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.
Sebagai filsafat, filsafat hukum tunduk pada sifat-sifat, cara-cara dan
tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di samping itu, hukum sebagai
obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat hukum. Dengan
demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling
berhubungan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang
filsafat, yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari
hakikat hukum. Dengan perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis. Jadi objek filsafat hukum adalah
hukum, dan obyek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti
atau dasarnya, yang disebut hakikat.
Pertanyaan tentang apa apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan
pertanyaan filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat
dijawab oleh ilmu hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba
tidak memuaskan. Menurut Apeldorn , hal tersebut tidak lain karena ilmu
hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat
gejala-gejala hukum sebagaimana dapat diamati oleh pancaindra manusia
mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
Sementara itu pertimbangan nilai di balik gejala-gejala hukum, luput
dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak termasuk
dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai (sollen),
sehingga norma hukum bukan dunia penyelelidikan ilmu hukum.
Hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu definisi
tentang hukum. Sampai saat ini menurut Apeldorn, sebagaimana dikutip
dari Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari tentang apa definisi
hukum. Definisi (batasan) tentang hukum yang dikemukakan para ahli hukum
sangat beragam, tergantung dari sudut mana mereka melihatnya.
Ahli hukum Belanda J. van Kan , mendefinisikan hukum sebagai
keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa, yang
melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam mayarakat. Pendapat
tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf von Ihering, yang menyatakan
bahwa hukum bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang memaksa yang
berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen menyatakan hukum terdiri dari
norma-norma bagaimana orang harus berperilaku. Pendapat ini di dukung
oleh ahli hukum Indonesia, Wiryono Prodjodikoro , yang menyatakan hukum
adalah rangkaian peraturan mengenai tingkah lau orang-orangsebgai
anggota suatu masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah
menjamin keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam masyarakat
itu. Selanjutnya Notohamidjoyo berpendapat bahwa hukum adalah
keseluruhan peraturan yang tertulis dan tidak tertulisyang biasanya
bersifat memaksa untuk kelakuan manusia dalam masyarakat negara serta
antar negara, yang berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya
guna, demi tata tertib dan kedamaian dalam masyarakat.
Definisi-definisi tersebut menunjukkan betapa luas sesungguhnya hukum
itu. Keluasan bidang hukum itu dilukiskan oleh Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto dengan menyebutkan sembilan arti hukum. Menurut
mereka, hukum dapat diartikan sebagai : (1) ilmu pengetahuan, yakni
pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan
pemikiran; (2) disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan
atau gejala-gejala yang dihadapi ; (3) norma, yakni pedoman atau
patokan siakap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan; (4)
tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang
berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis;
(5) petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang
berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer) ; (6)
keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi ; (7) proses
pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur
pokok dari sistem kenegaraan; (8) sikap tindak ajeg atau perikelakuan
yang teratur, yakni perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang
sama, yang bertujuan untuk untuk mencapai kedamaian; (9) jalinan
nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa
yang dianggap baik dan buruk.
Dengan demikian, apabila kita ingin mendefinisikan hukum secara
memuaskan, kita harus dapat merumuskannya dalam suatu kalimat yang
cukup panjang yang meliputi paling tidak sembilan arti hukum di atas.
Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka masalah atau
pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkaitan
dengan hukum itu sendiri, seperti hubungan hukum dengan kekuasaan,
hubungan hukum kodrat dengan hukum positif, apa sebab orang menaati
hukum, apa tujuan hukum, sampai pada masalah-masalah kontemporer seperti
masalah hak asasi manusia, keadilan dan etika profesi hukum.
Selanjutnya Apeldorn , menyebutkan tiga pertanyaan penting yang dibahas
oleh filsafat hukum, yaitu : (1) adakah pengertian hukum yang berlaku
umum ; (2) apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum ; dan (3) adakah
sesuatau hukum kodrat. Lili Rasyidi menyebutkan pertanyaan yang menjadi
masalah filsafat hukum, antara lain : (1) hubungan hukum dengan
kekuasaan ; (2) hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial budaya ; (3)
apa sebabnya negara berhak menghukum seseorang ; (4) apa sebab orang
menaati hukum ; (5) masalah pertanggungjawaban ; (6) masalah hak milik ;
(7) masalah kontrak ; (8) dan masalah peranan hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat.
Apabila kita perbandingkan antara apa yang dikemukakan oleh Apeldorn
dan Lili Rasyidi tersebut, tampak bahwa masalah-masalah yang dianggap
penting dalam pembahasan filsafat hukum terus bertambah dan berkembang,
seiring dengan perkembangan zaman. Demikian pula karena semakin
banyaknya para ahli hukum yang menekuni dunian filsafat hukum.
D. Urgensi dan relevansi filsafat hukum
Kita tidak dapat memungkiri, bahwa perkembangan ilmu dan teknologi
begitu pesatnya. Dengan ilmu yang dimiliki manusia, sudah banyak
masalah yang berhasil dipecahkan. Rahasia alam semesta, misalnya, telah
banyak diungkapkan melalui kemajuan ilmu tersebut, yang pada gilirannya
menghasilkan teknologi-teknologi spektakuler, seperti bioteknologi,
teknologi di bidang komputer, komunikasi maupun ruang angkasa. Akan
tetapi sebanyak dan semaju apapun ilmu yang dimiliki manusia, tetap saja
ada pertanyaan-pertanyaan yang belum berhasil dijawab. Maka ketika ilmu
tidak lagi mampu menjawab, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi porsi
pekerjaan filsafat.
Berfilsafat adalah berfikir. Hal ini tidak berarti setiap berfikir
adalah berfilsafat, karena berfilsafat itu berfikir dengan ciri-ciri
tertentu. Ada beberapa ciri berpikir secara kefilsafatan, yaitu :
1. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara radikal. Radikal
berasal dari kata Yunani, radix yang berarti “akar”. Berfikir secara
radikal adalah berfikir sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai ke
hakikat, essensi, atau samapai ke substansi yang dipikirkan. manusia
yang berfilsafat tidak puas hanya memperoleh pengetahuan lewat indera
yang selalu berubah dan tidak tetap. Manusia yang berfilsafat dengan
akalnya berusaha untuk dapat menangkap pengetahuan hakiki, yaitu
pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan inderawi.
2. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara universal (umum).
Berfikir secara universal adalah berfikir tentang hal-hal serta
proses-proses yang bersifat umum. Filsafat bersangkutan dengan
pengalaman umum dari ummat manusia (common experience of mankind).
Dengan jalan penjajakan yang radikal, filsafat berusaha untuk sampai
pada kesimpulan-kesimpulan yang universal. Bagaimana cara atau jalan
yang ditempuh untuk mencapai sasaran pemikirannya dapat berbeda-beda.
Akan tetapi yang dituju adalah keumuman yang diperoleh dari hal-hal
khusus yang ada dalam kenyataan.
3. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara konseptual. Yang
dimaksud dengan konsep di sini adala hasil generalisasi dan abstraksi
dari pengalaman tentang hal-hal sertya proses-proses individual.
Berfilsafat tidak berfikir tentang manusia tertentu atau manusia khusus,
tetap[i berfikir tentang manusia secara umum. Dengan ciri yang
konseptual ini, berfikir secara kefilsafatan melampoi batas pengalaman
hidup sehari-hari.
4. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara koheren dan
konsisten. Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berfikir (logis).
Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi. Baik koheren maupun
konsisten, keduanya dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu
runtut. Adapun yang dimaksud runtut adalah bagan konseptual yang disusun
tidak terdiri atas pendapat-pendapat yang saling berkontradiksi di
dalamnya.
5. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik.
Sistematik berasal dari kata sistem yang artinya kebulatan dari sejumlah
unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai
sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu. Dalam
mengemukakan jawaban terhadap sesuatu masalah, digunakan pendapat atau
argumen yang merupakan uraian kefilsafatan yang saling berhubungan
secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.
6. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara komprehensif.
Komprehensif adalah mencakup secara menyeluruh. Berfikir secara
kefilsafatan berusaha untuk menjelaskan fenomena yang ada di alam
semesta secara keseluruhan sebagai suatu sistem.
7. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas. Sampai
batas-batas yang luas, setiap filsafat boleh dikatakan merupakan suatu
hasil dari pemikiran yang bebas. Bebas dari prasangka-prasangka sosial,
historis, kultural, atau religius. Sikap-sikap bebas demikian ini banyak
dilukiskan oleh filsuf-filsuf dari segala zaman. Socrates memilih minum
racun dan menatap maut daripada harus mengorbankan kebebasannya untuk
berpikir menurut keyakinannya. Spinoza karena khawatir kehilangan
kebebasannya untuk berfikir, menolak pengangkatannya sebagai guru besar
filsafat pada Universitas Heidelberg.
8. Berfikir secara kefilsafatan dicirikan dengan pemikiran yang
bertanggungjawab. Pertangungjawaban yang pertama adalah terhadap hati
nuraninya. Di sini tampak hubungan antara kebebasan berfikir dalam
filsafat dengan etika yang melandasinya.
Sebagaimana berfikir secara kefilsafatan, maka pemikiran filsafat hukum
juga memiliki beberapa sifat atau karakteritik khusus yang
membedakannya dengan ilmu-ilmu lain. Pertama, filsafat hukum memiliki
karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara
berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat
hukum diajak untuk berwawasan luas dan terbuka. Mereka diajak untuk
menghargai pemikiran, pendapat dan pendirian orang lain. Itulah
sebabnya dalam filsafat hukumpun dikenal pula berbagai aliran pemikiran
tentang hukum, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan
demikian diharapkan para cendekiawan hukum, tidak bersikap arogan dan
apriori, bahwa disiplin ilmu yang dimilikinya lebih tinggi dengan
disiplin ilmu yang lainnya.
Kemudian filsafat hukum dengan sifat universalitasnya, memandang
kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya bagian-bagian dari
gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian filsafat
hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang
pada keseluruhan dalam perjalanan reflektifnya, tidak sekedar hanya
memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Dalam filsafat hukum,
pertimbangan-pertimbangan di luar obyek adalah salah satu ciri khasnya.
Filsafat hukum tidak bersifat bebas nilai. Justru filsafat hukum
menimba nilai yang berasal dari hidup dan pemikiran.
Ciri yang kedua, filsafat hukum juga memiliki sifat yang mendasar atau
memusatkan diri pada pertanyaan-pertanyaan mendasar (basic or
fundamental questions). Artinya dalam menganalisis suatu masalah,
seseorang diajak untuk berpikir kritis dan radikal. Dengan mempelajari
dan memahami filsafat hukum berarti diajak untuk memahami hukum tidak
dalam arti hukum positif belaka. Orang yang mempelajari hukum dalam
arti positif belaka, tidak akan mampu memanfaatkan dan mengembangkan
hukum secara baik. Apabila orang itu menjadi hakim misalnya,
dikhawatirkan ia akan menjadi hakim yang bertindak selaku “corong
undang-undang” semata.
Ciri berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah sifat filsafat yang
spekulatif. Sifat ini tidak boleh diartikan secara negatif sebagai
sifat gambling. Sebagai dinyatakan oleh Suriasumantri , bahwa semua ilmu
yang berkembang saat ini bermula dari sifat spekulatif tersebut. Sifat
ini mengajak mereka yang mempelajari filsafat hukum untuk berpikir
inovatif, selalu mencari sesuatu yang baru. Memang, salah satu ciri
orang yang berpikir radikal adalah senang kepada hal-hal yang baru.
Tentu saja tindakan spekulatif yang dimaksud di sini adalah tindakan
yang terarah, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan
berpikir spekulatif dalam arti positif itulah hukum dapat dikembangkan
ke arah yang dicita-citakan bersama. Secara spekulatif, filsafat hukum
terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum.
Pertanyaan-pertanyaan itu menimbulkan rasa sangsi dan rasa terpesona
atas suatu kebenaran yang dikandung dalam suatu persoalan. Apabila
jawaban-jawabannya diperoleh maka jawaban-jawaban itu disusun dalam
suatu sistem pemikiran yang universal dan radikal.
Kemudian ciri yang lain lagi adalah sifat filsafat yang reflektif
kritis. Melalui sifat ini, filsafat hukum berguna untuk membimbing kita
menganalisis masalah-masalah hukum secara rasional dan kemudian
mempertanyakan jawaban itu secara terus menerus. Jawaban tersebut
seharusnya tidak sekedar diangkat dari gejala-gejala yang tampak, tetapi
sudah sampai kepada nilai-nilai yang ada dibalik gejala-gejala itu.
Analisis nilai inilah yang membantu kita untuk menentukan sikap secara
bijaksana dalam menghadapi suatu masalah kongkret. Secara kritis,
filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum
yang sudah ada, melihat koherensi, korespodensi dan fungsinya. Filsafat
hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang
dapat dikategorikan sebagai hukum.
Filsafat itu juga bersifat introspektif atau mempergunakan daya upaya
introspektif. Artinya, filsafat tidak hanya menjangkau kedalaman dan
keluasan dari permasalahan yang dihadapi tetapi juga mempertanyakan
peranan dari dirinya dan dari permasalahan tersebut. Filsafat
mempertanyakan tentang struktur yang ada dalam dirinya dan permasalahan
yang dihadapinya. Sifat introspektif dari filsafat sesuai dengan sifat
manusia yang memiliki hakekat dapat mengambil jarak (distansi) tidak
hanya pada hal-hal yang berada di luarnya tetapi juga pada dirinya
sendiri.
Sebagai bahan perbandingan, Radhakrisnan dalam bukunya The History of
Philosophy, mengemukakan pula tentang arti penting mempelajari filsafat,
termasuk dalam hal ini mempelajari filsafat hukum, bukanlah sekedar
mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbing kita
untuk maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan
tujuan, menentukan arah, dan menuntun pada jalan baru. Filsafat
hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menopang dunia baru,
mencetak manusia-manusia yang tergolong ke dalam berbagai bangsa, ras
dan agama itu mengabdi kepada cita-cita mulia kemanusiaan. Filsafat
tidak ada artinya sama sekali apabila tidak universal, baik dalam ruang
lingkupnya maupun dalam semangatnya.
Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat hukum di atas
sekaligus juga menunjukkan arti pentingnya. Dengan mengetahui dan
memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut,
maka sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif
untuk ikut membantu memberikan jalan keluar atau pemecahan terhadap
berbagai krisis permasalahan yang menimpa bangsa Indonesia dalam proses
reformasi ini. Tentu saja kontribusi yang dapat diberikan oleh filsafat
hukum dalam bentuk konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang
hendak dipakai dalam penyelesaian masalah-masalah yang terjadi.
Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan karakter yang melekat
pada filsafat hukum itu sendiri.
Dengan pendekatan dan analisis filsafat hukum, maka para para pejabat,
tokoh masyarakat, pemuka agama dan kalangan cendekiawan atau siapapun
juga dapat bersikap lebih arif dan bijaksana serta mempunyai ruang
lingkup pandangan yang lebih luas dan tidak terkotak-kotak yang
memungkinkan dapat menemukan akar masalahnya. Tahap selanjutnya
diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat. Karena penyelesaian
krisis yang terjadi di negara kita itu tidak mungkin dapat dilakukan
sepotong-potong atau hanya melalui satu bidang tertentu saja, tapi harus
meninjau melalui beberapa pendekatan lain sekaligus
(interdisipliner.atau multidisipliner).
Tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirinya paling benar atau paling
jago dengan pendapatnya sendiri dan menafikan pendapat yang lain. Atau
dengan kata lain hanya ingin menangnya sendiri tanpa mau menghargai
pendapat orang lain. Karena masing-masing bidang atau cara pandang
tertentu, mempunyai kelebihan dan keterbatasannya masing-masing. Justru
pandangan-pandangan yang berbeda kalau dapat dikelola dengan baik, dapat
dijadikan alternatif penyelesaian masalah yang saling menopang satu
sama lain.
Apalagi krisis permasalahan yang melanda bangsa Indonesia sesungguhnya
amat kompleks dan multidimensional sifatnya, mulai krisis ekonomi,
politik, hukum, pemerintahan serta krisis moral dan budaya, yang satu
sama lain berkaitan sehingga diperlukan cara penyelesaian yang terpadu
dan menyeluruh yang melibatkan berbagai komponen bangsa yang ada. Dalam
konteks ini diperlukan adanya kerjasama dan sinergi yang erat dari
berbagai komponen tersebut. Maka pejabat pemerintah harus mendengar
aspirasi dari rakyat, para pakar mau mendengar pendapat pakar lainnya,
tokoh masyarakat harus saling menghormati terhadap dengan tokoh
masyarakat yang lain. Semua bekerja bahu membahu dan menghindarkan diri
dari rasa curiga, kebencian dan permusuhan. Dengan pendekatan dan
kerangka berfikir filsafati seperti di atas, diharapkan dapat membantu
ke arah penyelesaian krisis yang sedang menerpa bangsa Indonesia saat
ini.
E. Kesimpulan
Penyelesaian krisis yang menimpa bangsa Indonesia tidak mungkin dapat
dilaksanakan melalui pendekatan sepihak yang bertumpu pada satu persepsi
atau bidang ilmu tertentu saja. Karena kalau itu yang terjadi, maka
masing-masing pihak akan merasa bahwa pendapatnya yang paling benar dan
cenderung meremehkan pendapat dari pihak lain. Oleh karena itu perlu
adanya pendekatan yang lebih komprehensif dan integral, yaitu dengan
pendekatan dan analisis filsafati. Karena pada dasarnya, semua bidang
ilmu mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing, sehingga sudah
seharusnya saling melengkapi satu sama lain. Filsafat dapat digunakan
untuk menjembatani permasalahan ini.
Dan bagi kalangan cendekiawan, akademisi maupun praktisi yang menekuni
dunia hukum, dapat memberikan konsepsi dan sumbangannya melalui berbagai
cara, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang terkandung
dalam filsafat hukum yang bercirikan antara lain kritis, radikal,
reflektif, introspektif dan universal. Adanya karakteristik dan
nilai-nilai seperti itulah, sekaligus yang menunjukkan urgensi dan
relevansinya, ketika pendekatan filsafat hukum menjadi pilihan.(sumber : http://bambang.staff.uii.ac.id/2008/08/21/urgensi-filsafat-hukum/ )
semoga dengan ini.. hukum di Indonesia bisa benar2 mengalahkan segala sesuatu yang berbau uang mas ya :(
ReplyDeletewow keren nih apalagi buat yg sementara nyusun skripsi tentang hukum
ReplyDeleteI translate your post . this is very helpful information for me you done great job you providing good knowledge i like this
ReplyDelete